Makan seharusnya menjadi aktivitas menyenangkan dan menyehatkan, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Namun, tak sedikit orang tua yang menghadapi kenyataan pahit: anak menolak makan, menangis saat disuapi, bahkan mengalami muntah atau panik ketika dihadapkan pada makanan. Fenomena ini dikenal sebagai trauma makan, kondisi yang cukup serius dan perlu penanganan tepat.
Menurut penelitian dalam Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, trauma makan pada anak bisa muncul akibat pengalaman makan yang tidak menyenangkan atau menyakitkan. Hal ini bisa terjadi setelah tersedak, muntah, paksaan makan, atau karena intervensi medis seperti penggunaan selang makanan saat bayi. Anak yang pernah mengalami hal tersebut dapat mengasosiasikan makan dengan rasa sakit atau ketakutan.
Psikolog anak dr. Ratih Ibrahim menyebutkan bahwa trauma makan adalah bentuk gangguan psikologis yang perlu empati tinggi dari orang tua. “Saat anak merasa makan adalah ancaman, bukan kebutuhan, maka otaknya akan memunculkan reaksi stres. Ini bisa berujung pada gangguan tumbuh kembang,” ujarnya dalam sebuah seminar parenting.
Penting dipahami bahwa trauma makan berbeda dari anak yang sekadar “picky eater” atau pemilih makanan. Anak dengan trauma makan biasanya mengalami reaksi emosional kuat seperti ketakutan, menutup mulut rapat, atau menghindar sepenuhnya dari meja makan. Kondisi ini dapat menyebabkan berat badan menurun, kurang gizi, bahkan masalah perilaku seperti tantrum dan kecemasan sosial.
Penanganan trauma makan harus dilakukan dengan pendekatan yang lembut dan penuh kesabaran. Menurut Prof. Kay Toomey, penggagas metode Sequential Oral Sensory (SOS) Approach to Feeding, kunci utama adalah menciptakan suasana makan yang aman dan tanpa tekanan. Biarkan anak terlibat dalam proses memilih dan menyiapkan makanan, serta izinkan mereka bermain dengan makanan tanpa harus langsung menyuapinya.
Selain itu, peran orang tua sangat penting dalam memberi contoh positif. Hindari memaksa, membentak, atau memberikan hukuman saat anak tidak mau makan. Sebaliknya, ciptakan rutinitas makan yang konsisten dan penuh kasih. Bila perlu, konsultasikan kondisi anak ke dokter anak, ahli gizi, atau terapis makan untuk mendapatkan bantuan profesional.
Trauma makan bukan hal sepele. Bila dibiarkan, anak bisa mengalami gangguan makan jangka panjang seperti Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (ARFID) yang memerlukan penanganan lebih intensif. Namun, dengan pendampingan yang tepat dan empati tinggi dari orang tua, kondisi ini bisa diatasi dan anak dapat kembali menikmati waktu makan sebagai bagian dari kehidupan sehat dan bahagia.
Daftar Pustaka:
- Chatoor, I. (2009). Diagnosis and Treatment of Feeding Disorders in Infants, Toddlers, and Young Children. Zero to Three.
- Toomey, K. (2020). SOS Approach to Feeding: Helping Children Develop a Positive Relationship with Food. SOS Feeding Solutions.
- Kerzner, B. et al. (2015). A Practical Approach to Classifying and Managing Feeding Difficulties. Pediatrics, 135(2), 344–353.
- Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. (2010). Feeding Disorders in Children.
- Interview dengan dr. Ratih Ibrahim, Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Seminar “Mindful Parenting”, Jakarta, 2022.
Photo by sklei: https://www.pexels.com/photo/photo-of-girl-eating-food-1482767/





