Sekitar 45% jajanan anak berbahaya, baik akibat cemaran fisik, mikrobiologi, dan kimia seperti pewarna tekstil, data ini didapat dari survei Badan POM tahun 2007. Siapapun yang membaca atau mendengar kabar ini tentu langsung merasa sedih, miris dan kecewa. Bagaimana nasib anak-anak, generasi penerus bangsa, jika sejak kecil tubuhnya sudah dicekoki dengan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mengakibatkan keracunan dan kanker?
Antara ketidaktahuan dan ketidakpedulian atau justru kesengajaan. Entah yang mana di antara ketiganya yang lebih pas menggambarkan keadaan sebenarnya. Karena ketiga alasan itu, anak-anak sekolah dengan polos dan suka cita menelan ‘racun’ yang bersembunyi dalam jajanan yang berjejer di depan sekolah mereka.
Jangan langsung panik berlebihan. Adanya pelanggaran penggunaan bahan-bahan berbahaya yang tak sepatutnya ada dalam makanan, bukan berarti harus membuat Anda mengisolasi anak-anak. Bekali diri Anda dan anak untuk memilih jajanan yang baik yang memiliki risiko kontaminasi paling kecil!
Jajanan anak yang tercemar
Seorang bocah usia 8 tahun sedang asyik menyeruput es limun warna merah menyala sambil duduk di bawah pohon, menghindari sengatan cahaya matahari di siang yang terik. Di sampingnya, temannya juga tengah menikmati cilok (aci di colok) dengan sausnya yang juga berwarna merah. Dua jajanan di atas hanya merupakan contoh dari deretan jajanan anak-anak yang umum ditemui.
Es limun memang selalu jadi rebutan anak-anak, terutama saat pulang sekolah, kala cuaca sedang panas-panasnya. Rasanya manis dan segar, kadang dengan sedikit aroma buah-buahan. Namun, dibalik kesegarannya, jika dianalisa ada beberapa sumbangan zat berbahaya yang terkandung di dalamnya? Pertama pewarnanya, kemudian pemanisnya, dan yang juga perlu diwaspadai adalah es batunya yang entah terbuat dari air bersih matang atau tidak serta ditangani dengan cara bersih atau tidak.
Warna merah pada es limun ternyata kebanyakan berasal dari pewarna Rhodamin B, jenis pewarna tekstil dan kertas yang sama sekali tidak boleh ada dalam makanan. Pemanisnya pun menggunakan pemanis buatan yang berlebihan, biasanya sakarin. Sedikit sirup buah (atau tidak sama sekali), dicampurkan dengan air, pewarna, dan pemanis. Hal ini biasanya dipilih untuk menekan biaya produksi. Dan, kebanyakan pedagang kecil ini melakukannya karena ketidaktahuan akan bahaya yang mengancam dibalik tindakannya.
Pada cilok alias aci dicolok, makanan kecil mirip bakso dengan tekstur yang kenyal dan dimakan bersama saus warna merah, mirip saus sambal ini juga tersimpan bahaya. Sumbernya berasal dari pengenyal yang dipakai dan dari saus teman santapnya. Pengenyal yang dipakai umumnya adalah boraks dan pada sausnya yang warna merah, lagi-lagi Rhodamin B yang menjadi biang utamanya. Saus ini biasanya dibeli oleh penjual cilok sudah dalam keadaan siap digunakan, dengan harga yang sangat murah.
Rhodamin B merupakan pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal merah keunguan yang jika dilarutkan akan menghasilkan warna merah terang. Selain pada kedua makanan di atas, pewarna ini juga biasa ditambahkan pada kerupuk merah (yang biasa digunakan sebagai pelengkap soto Padang), biji merah delima, hingga gulali.
Selain Rhodamin B, pewarna berbahaya lain yang biasa ditemukan pada makanan anak, salah satunya adalah Methanil Yellow. Penghasil warna kuning kecokelatan ini aslinya merupakan pewarna tekstil dan cat. Biasa ditambahkan pada kerupuk bawang dan ice cone.
Baru-baru ini Badan POM meluncurkan mobil Lab Keliling yang siap menjangkau lokasi-lokasi tertentu yang rawan terhadap pelanggaran penggunaan bahan tambahan makanan, termasuk sekolah-sekolah dan pasar. “Jajanan anak sekolah menjadi prioritas kami sehubungan dengan kecurigaan adanya penambahan bahan tambahan berbahaya, terutama pewarna”, tutur Husniah Rubiana, ketua Badan POM.
Proses analisa yang dilakukan berlangsung cukup singkat. Tak lebih dari 5 menit, sampel yang dicurigai mengandung bahan tambahan berbahaya, setelah diencerkan dan ditambahkan bahan pelarut, siap mengidentifikasikan hasilnya.
Aturan main pewarna pangan
Pewarna merupakan salah satu jenis Bahan Tambahan pangan (food additives) yang memang lazim digunakan dalam berbagai produk pangan. Layaknya bahan tambahan lain seperti pemanis dan pengawet, tujuan penambahan pewarna adalah untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas pangan dari segi penampilannya. Warna yang atraktif tentu mampu menarik perhatian pembeli.
Pemberian warna pada umumnya juga diselaraskan dengan warna alami dari bahan pangan. Analogi yang seolah sudah terpola dalam pikiran konsumen inilah yang membuat produsen pangan pun semakin gencar memberi pewarna dalam produknya. Misalnya, warna oranye dihubungkan dengan rasa jeruk, ungu untuk rasa anggur, hijau untuk melon, dan sebagainya. Dengan melihat warna, konsumen dengan mudah menangkap kesan rasa dari produk tersebut.
Menggunakan pewarna dalam pangan memang diizinkan, selama yang digunakan adalah pewarna makanan. Pewarna ini bisa berasal dari bahan alami ataupun sintetis (buatan). Keduanya masuk dalam kategori aman digunakan. Pewarna alami berasal dari bahan-bahan alami seperi daun suji, abu merang, atau kunyit. Penggunaannya tentu relatif aman.
Untuk pewarna sintetis, pemerintah melalui Menteri Kesehatan, sudah mengeluarkan peraturan menyangkut batas maksimal penggunaannya. Aturan ini tentu sudah melalui evaluasi dan penelitian dari para ahli dan mengacu pada regulasi dunia, seperti Codex dan FDA (Food and Drugs Administration). Sedangkan untuk perizinan peredaran dan pemakaian bahan tambahan makanan dari luar negeri, ditangani oleh Badan POM.
Bagai menabung penyakit
Lantas, jika pewarna sintetis atau buatan sudah diakui aman oleh pemerintah (asal dalam dosis tidak berlebih), kenapa harus khawatir dengan makanan dan minuman berwarna yang banyak beredar di kalangan anak-anak sekolah? Masalahnya, produsen kecil yang membuat makanan dan minuman tanpa label tentu tak melaporkan produknya ke Badan POM, sehingga faktor keamanannya perlu diwaspadai. Pewarna yang sering digunakan oleh produsen kecil industri rumahan ini kebanyakan bukan merupakan kategori pewarna makanan, melainkan merupakan pewarna tekstil atau cat.
Efeknya memang tidak langsung dirasakan sekarang, besok, atau minggu depan. Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi zat berbahaya, ibarat menabung bencana. Saat ‘tabungan penuh’, Anda baru bisa merasakan ‘hasilnya’. Konsumsi bahan tambahan pangan berbahaya, termasuk pewarna, lama kelamaan akan membuat tubuh ‘penuh’ dengan zat asing yang bisa menyebabkan keracunan dan kanker di kemudian hari. Keracunan ditandai dengan adanya perubahan dalam tubuh setelah mengonsumsi pangan tercemar. Gejalanya bisa pusing, mual, alergi, muntah, hingga pusing.
Larangan yang diberikan oleh pemerintah soal penggunaan pewarna ilegal untuk yang berbahaya ini sudah dikeluarkan. Namun, mengapa pada kenyataannya penyalahgunaannya masih saja terjadi? Saat dikonfirmasi pada beberapa pedagang jajanan anak, kebanyakan dari mereka mengaku tidak tahu bahwa bahan yang mereka gunakan berbahaya bagi kesehatan. Mereka mengatakan bahwa bahan tersebut memang umum dan lazim digunakan oleh sesama pedagang.
Ketidaktahuan bisa diakibatkan dari kurangnya informasi atau rendahnya tingkat pendidikan. Penyebab lainnya bisa jadi karena ketidakpedulian dan kesengajaan. Demi mendapatkan keuntungan besar, tindakan curang ini tetap dilakukan.
Tak perlu jadi paranoid
Sebagai orang tua, mengetahui kenyataan bahwa ada begitu banyak jenis pangan yang kemungkinan berbahaya bagi buah hati, bukan berarti harus membuat Anda menjadi paranoid. Selama berada di rumah Anda tentu bisa memonitor makanan yang disantapnya, namun saat anak berada di luar rumah tentu risiko itu bisa datang menghampirinya.
Membawakan bekal makanan dari rumah bisa menjadi salah satu solusi untuk menghindari ancaman ini. Namun pertanyaannya, sampai usia berapa anak mau membawa bekal ke sekolah? Sampai kapan Anda harus menjadi ‘polisi’ makanan baginya?
Lebih penting lagi adalah membekali anak dengan pengetahuan yang cukup agar ia mampu memilih dan membedakan mana makanan yang sehat dan tidak sehat.Berikan penjelasan yang mudah dimengerti agar anak-anak tidak bingung. Pewarna sintetis berbahaya umumnya ditandai dengan warnanya yang sangat mencolok.
There is no zero risk dalam hal pangan yang bisa dilakukan adalah meminimalkan resikonya. Kalaupun sesekali ternyata pewarna berbahaya ini terkonsumsi, tubuh manusia diciptakan sangat sempurna untuk mampu mengeluarkan zat asing (termasuk zat berbahaya) yang masuk ke dalam tubuhnya. Namun, tentunya tubuh pun punya kapasitas dan batas tertentu untuk menolerasi zat asing ini. Jika terus menerus terpapar dan menumpuk dalam tubuh, hal ini tentu akan mengakibakan efek yang buruk bagi kesehatan. Ml
Foto oleh Alexander Grey: https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-close-up-tumpukan-donat-1407346/