Keberhasilan pembangunan sebuah negara tak selalu berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah pemenuhan gizi pada anak-anak. Anak-anak yang kurang gizi tentu sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia sebuah bangsa di masa depan. Jika angka stunting sebuah negara masih tinggi, bisa dikatakan pembangunan di negara tersebut belum berhasil. Stunting adalah sebuah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Stunting sudah terjadi sejak dalam kandungan dan akan nampak saat anak berusia dua tahun.
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Kabupaten Magelang menggelar Seminar Ilmiah dengan tema “Upaya Lintas Sektor dalam Mencegah dan Menanggulangi Stunting dengan Mengoptimalkan 1000 Hari Pertama Kehidupan melalui Pendekatan Keluarga.” Seminar ini digelar pada 28 Juli 2018 di Atria Hotel Magelang. Dokter Spesialis Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Endy P Prawirohartono mengatakan bahwa setidaknya ada 3 dampak paling bahaya dari stunting. “Dampak paling buruk yaitu kematian karena berbagai penyakit. Dampak kedua disabilitas lain serta dampak ketiga kemampuan kognitif rendah.”
Endy P Prawiroharto juga menyampaikan bahwa ada beberapa faktor resiko stunting seperti janin tumbuh lambat, perilaku menyusui, sebelumnya anak stunting, penyakit infeksi seperti saluran pernafasan, diare, dan cacingan. Faktor resiko stunting yang tak kalah penting yaitu ketahanan pangan rumah tangga.
Saat ini bisa dibilang akses pangan bergizi seimbang cukup mudah bagi sebagian besar masyarakat. Namun permasalahannya beralih pada anak yang sulit makan atau dikenal dengan gerakan tutup mulut (GTM). Menurut Endy P Prawiroharto pemberian MP ASI harus memperhatikan beberapa hal diantaranya tepat waktu dimana MP ASI diberikan saat kebutuhan zat gizi sudah tidak bisa dipenuhi ASI, mencukupi kebutuhan semua zat nutrien yang diperlukan, higienis, serta tepat dalam cara memberikannya. Ada beberapa aturan main dalam pemberian MP ASI diantaranya harus sesuai dengan tanda lapar kenyang bayi, sesuai teksturnya, sesuai jumlah, sesuai frekuensinya, serta diberikan dengan cara yang baik pula. Jangan sampai memaksa anak sehingga anak justru menjadi trauma terhadap makanan.
Ahli gizi dari Dinas Kesehatan Jawa Tengah, Rinaningsih menyampaikan empat standar emas rekomendasi WHO. Keempat hal tersebut diantaranya inisiasi menyusui dini (IMD) dalam satu jam setelah kelahiran, ASI sejak lahir hingga usia 6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI yang padat gizi mulai dari usia 6 bulan hingga 24 bulan, serta terus memberikan ASI hingga dua tahun.
Pendekatan keluarga sangat penting dalam mencegah stunting terutama pada 1000 hari pertama kehidupan anak. Hal ini dikarenakan, keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang berperan langsung dalam pemenuhan gizi anak-anak. Penanggulangan stunting pun tak hanya perlu dilakukan pada ibu hamil, meskipun ibu hamil menjadi target utama untuk diberikan konseling.
Beberapa intervensi efektif penanggulangan stunting diantaranya pemberian tablet tambah darah pada remaja putri, calon pengantin, dan ibu hamil. Selain itu juga perlu dilakukan promosi ASI eksklusif, promosi makanan pendamping ASI, pemberian suplemen gizi mikro, pemberian suplemen gizi makro, tata laksana gizi kurang, suplementasi vitamin A, promosi garam iodium, pemberian obat cacing, serta bantuan pangan non tunai. Hal yang tak kalah penting yaitu akses terhadap air bersih, sanitasi, dan kebiasaan cuci tangan menggunakan sabun.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Yulianto Prabowo juga menyampaikan bahwa penanggulangan stunting tak hanya menjadi tanggung jawab Kementrian Kesehatan. Perlu dilakukan kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti bidang pertanian dalam hal menjamin ketersediaan pangan, bidang sosial, bidang pendidikan, bidang pemberdayaan perempuan, bidang perlindungan anak, BKKBN, bidang perindustrian dan perdagangan, BPOM, bidang kelautan dan perikanan, kementerian pekerjaan umum, kementrian desa, bidang ketenagakerjaan, kementerian dalam negeri, serta kementerian agama. Dengan kata lain penanggulangan stunting menjadi hal kompleks yang melibatkan banyak pihak. Sebenarnya masing-masing bidang dan kementerian sudah memiliki program yang sangat bagus. Namun sayangnya program-program ini belum terintegrasi dan bersinergi dengan baik.
Selain itu Yulianto Prabowo juga menyampaikan bahwa berdasarkan Global Nutrition Report (2010) Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang memiliki beban ganda dalam permasalahan gizi. Selain stunting, Indonesia juga harus menghadapi masalah obesitas yang sangat dekat dengan berbagai penyakit degeneratif. Padahal di tahun 2035 Indonesia akan mengalami bonus demografi. Dimana di tahun ini jumlah penduduk berusia produktif jauh lebih tinggi dibandingkan usia anak-anak maupun lanjut usia. Bonus demografi ini akan semakin membuka peluang potensi meningkatkan produktivitas sehingga kesejahteraan semakin baik.
Sebaliknya jika kualitas sumber daya manusia buruk, bonus demografi ini justru berubah menjadi demografic disaster. Masalah kurang gizi pada anak tidak boleh dipandang hal yang remeh. Meskipun kondisi fisik anak kurang gizi bisa diperbaiki di masa depan, namun perkembangan otak anak kurang gizi yang telah terhambat tidak dapat diperbaiki. Anak yang mengalami kurang gizi dimasa depan tak hanya menjadi sumber daya alam kurang baik, mereka juga beresiko lebih tinggi mengalami penyakit degeneratif seperti halnya anak obesitas.
Kepala Bappeda dan Litbangda Kabupaten Magelang, Sugiyono menyampaikan bahwa berdasarkan Survei Pemantauan Status Gizi (PSG) di tahun 2017 anak yang mengalami stunting di Kabupaten Magelang 32,51% sedangkan di Provinsi Jawa Tengah 28,5%. Seperti yang disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah di atas, bahwa upaya pengentasan stunting harus melibatkan lintas sektor. Bappeda dan Litbangda Kabupaten Magelang berperan dalam mengintegrasikan semua program-program penurunan stunting khususnya di Kabupaten Magelang. Hal ini sejalan dengan salah satu visi Kabupaten Magelang yaitu dalam hal sejahtera. Konsep sejahtera menunjukan kondisi kemakmuran suatu masyarakat yang terpenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial.
Ahli gizi sekaligus narasumber gizi acara Wonderfood Net TV, Rita Ramayulis mengatakan bahwa stunting merupakan masalah kronis yang mata rantainya panjang. Status gizi nenek yang buruk misalkan berkontribusi besar pada status gizi cucunya kelak. Kemudian remaja yang kurang gizi beresiko mengandung anak yang kurang gizi pula di masa depan. Hal ini tentu berkorelasi pada rendahnya kualitas Sumber Saya Manusia sebuah bangsa. “Stunting adalah masalah kronis yang tidak terjadi dalam satu hari, satu bulan, atau satu tahun,” kata Rita Ramayulis.
Menurut Rita Ramayulis, ada beberapa faktor penyebab stunting. Faktor pertama yaitu praktek pengasuhan yang kurang baik. Pola asuh gizi merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh anak dalam memberikan makanan pada anak. Ibu yang tidak paham permasalahan pemberian gizi pada anak akan melakukan berbagai kesalahan meskipun tidak disengaja sehingga anak beresiko mengalami kekurangan gizi. Kesalahan yang paling sering dilakukan adalah memberikan MP ASI terlalu dini. Kesalahan pola asuh gizi selanjutnya tidak memberikan anak kesempatan mencoba berbagai rasa makanan dengan kata lain hanya memberikan makanan itu-itu saja. Kesalahan ketiga memaksa anak makan dengan mengabaikan apakah anak sedang lapar atau sudah kenyang. Kesalahan ke empat memberikan makan dengan tergesa-gesa atau terlalu lama. Hal ini menyebabkan anak tidak fokus terhadap makanannya. Selain itu anak juga menjadi bosan dan tidak nyaman saat makan. Idealnya pemberian makan pada anak tidak boleh lebih dari 30 menit. Kesalahan terakhir memberikan makan anak tidak teratur. Hal ini akan membuat anak kesulitan menganali rasa lapar. Kesalahan pola asuh gizi yang terakhir adalah membiarkan anak makan makanan manis dan berlemak secara berlebihan terutama menjelang jadwal makannya. Makanan manis dan berlemak akan memberikan rasa kenyang palsu sehingga anak tidak bernafsu makan.
Faktor kedua penyebab stunting yaitu masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan, setelah kelahiran, dan pembelajaran dini yang berkualitas. Faktor ketiga masih kurangnya akses rumah tangga pada makanan bergizi, terutama masalah harga mahal pada makanan bergizi. Serta faktor terakhir yaitu kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. (Nur)